Ilmu Asuhan Kebidanan dan Keperawatan

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA PADA BAYI BARU LAHIR DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI TAHUN 2008


BAB I
PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang
Menurut WHO diperkirakan bahwa sekitar 23% seluruh angka kematian neonatus di seluruh dunia disebabkan oleh asfiksia neonatorum, dengan proporsi lahir mati yang lebih besar. Laporan dari organisasi kesehatan dunia (WHO) menyebutkan bahwa sejak tahun 2000-2003 asfiksia menempati urutan ke 5 yaitu sebanyak 8%, sebagai penyebab kematian anak di seluruh dunia setelah pneumonia, malaria, sepsis neonatorum dan kelahiran prematur dan diperkirakan 1 juta anak yang bertahan setelah mengalami asfiksia saat lahir kini hidup dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral palsy, retardasi mental dan gangguan belajar (http://rtnet-mess.blogspot.com).

Hasil Survey Demografi Dan Kesehatan Indonesia (SDKI), 2002 – 2003, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih berada pada angka 307 per 100.000 kelahiran hidup atau setiap jam terdapat 2 orang ibu bersalin meninggal dunia karena berbagai sebab. Demikian pula angka kematian AKB, khususnya angka kematian bayi baru lahir (neonatal) masih berada pada kisaran 20 per 1000 kelahiran hidup. Penatalaksanaan MPS target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2010 adalah angka kematian ibu terjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup dengan angka kematian bayi baru lahir menjadi 15 per 1000 kelahiran hidup (Ahmad Sujudi, 2004).
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur, bayi dengan gawat janin sebelum lahir umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan (JNPK-KR, 2008)
Penyebab utama kematian neonatus berhubungan secara intrinsik dengan kesehatan dan perawatan yang diterima sebelum, selama dan setelah melahirkan. Asfiksia neonatorum dan trauma kelahiran pada umumnya disebabkan oleh manajemen persalinan yang buruk dan kurangnya akses kepelayanan obstetri. Asupa kalori dan mikronutirion juga menyebabkan keluaran dari semua kematian neonatus dapat dicegah apabila wanita mendapatkan nutrisi yang cukup dan mendapatkan perawatan yang sesuai pada saat kehamilan, kelahiran dan periode pasca persalinan (Kompas, 2007).
Angka Kematian Ibu (AKI) Sumatera Selatan Tahun 2008 jauh dari Angka Nasional yaitu 472 per 100.000 Kelahiran hidup dan turun  sebesar 5 per 100.000 kelahiran hidup pada tahunn 2004 menjadi 467 per 100.000 kelahiran hidup. Dibandingkan dengan Propinsi lain, angka ibu jauh di atas Jawa Barat yaitu 274 per 100.000 kelahiran hidup, tapi di bawah Nusa Tenggara Timur yaitu 688 per 100.000 kelahiran hidup. (Mahyudin, 2006)
Menurut data Dinas Kesehatan 2008, tentang data kesehatan Propinsi Sumatera Selatan terdapat Angka Kematian Ibu (AKI) dari 53 per 100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) dari 4 per 1.000 kelahiran hidup (Dinkes, 2008).
Berdasarkan data dari Medical Record jumlah bayi yang asfiksia di Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari tahun 2007 sebanyak 70 bayi dan tahun 2008 sebanyak 75 bayi yang menderita asfiksia.
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa angka kematian bayi diakibatkan oleh asfiksia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kejadian asfiksia dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kekurangan O2, partus lama, kehamilan posterm, plasenta previa, disfungsi uteri dan lain-lain (JNPK-KR, 2008).
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari tahun 2008.

1.2    Rumusan Masalah
Faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan dengan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari tahun 2008.

1.3    Tujuan Penelitian
1.3.1        Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari tahun 2008.

1.3.2        Tujuan Khusus
1.      Diketahuinya distribusi frekuensi kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari tahun 2008.
2.      Diketahuinya distribusi frekuensi umur ibu, umur kehamilan dan partus lama dengan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari tahun 2008.
3.      Diketahuinya hubungan umur ibu dengan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari tahun 2008.
4.      Diketahuinya hubungan umur kehamilan dengan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari tahun 2008.
5.      Diketahuinya hubungan partus lama dengan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari tahun 2008.

1.4    Manfaat Penelitian
1.4.1        Bagi Peneliti
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang pemahaman dalam metode penelitian dan menerapkan secara langsung di dalam penelitian.

1.4.2        Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kepustakaan dan pengetahuan serta untuk meningkatkan mutu pendidikan yang berguna bagi mahasiswa program study D III Akademi Kebidanan Budi Mulia Palembang.

1.4.3        Bagi Tenaga Kesehatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi tenaga kesehatan khususnya bidan dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan kualitas pelayanan terutama pada pelayanan tentang asfiksia.

1.5    Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini, dibatasi umur ibu, umur kehamilan dan partus lama yang berhubungan dengan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum  Daerah Palembang Bari Tahun 2008.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1    Konsep Dasar Asfiksia Neonatorum
2.1.1   Definisi
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir  (Wiknjosastro, 2005).
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur, bayi dengan gawat janin sebelum lahir umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan (JNPK-KR, 2008).
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur dalam satu menit setelah lahir (FKUI, 2000).
Asfiksia neonatorum adalah  bayi gagal bernafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat sesudahnya (Sulaiman, 2009).

2.1.2   Etiologi
Hipoksia janin yang menyebabkan asfiksia neonatorum terjadi karena gangguan pertukaran gas serta transport O2 dari ibu ke janin sehingga terdapat gangguan dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan CO2. Gangguan ini dapat berlangsung secara menahan akibat kondisi atau kelainan pada ibu selama kehamilan, atau secara mendadak karena hal-hal yang diderita ibu dalam persalinan.
Gangguan menahun dalam kehamilan dapat berupa gizi ibu yang buruk, penyakit menahun seprti anemia, hipertensi, penyakit jantung, dan lain-lain. Pada keadaan terakhir ini pengaruh terhadap janin disebabkan oleh gangguan oksigenisasi seperti kekurangan pemberian zat-zat makanan berhubungan dengan gangguan fungsi plasenta. Hal ini dapat dicegah atau dikurangi dengan melakukan pemeriksaan antenatal yang sempurna, sehingga perbaikan sedini-dininya dapat diusahakan (Wiknjosastro, 2005).

2.1.3   Patofisiologi Asfiksia
Kondisi patofisiologi yang menyebabkan asfeksia meliputi kurangnya oksigenasi sel, retensi karbon dioksida berlebihan, dan asidosis metabolik. Kombinasi ketiga peristiwa itu menyebabkan kerusakan sel dan lingkungan biokimia yang tidak cocok dengan kehidupan. Tujuan resusitasi ialah intervensi tepat waktu yang membalikkan efek-efek biokimia asfiksia sehingga mencegah kerusakan otak dan organ yang ireversibel, yang akibatnya akan ditanggung sepanjang hidup.
Bayi-bayi yang mengalami proses asfiksia lebih jauh berada dalam tahap apnea sekunder. Apnea sekunder cepat menyebabkan kematian jika bayi tidak benar-benar didukung oleh pernapasan buatan dan bila diperlukan, kompresi jantung. Selama apnea sekunder, frekuensi jantung dan tekanan darah, warna bayi berubah dari biru ke putih karena bayi baru lahir menutupi sirkulasi perifer sebagai upaya memaksimalkan aliran darah ke organ-organ, seperti jantung, ginjal dan adrenal.
Efek hipoksia terhadap otak terutama sangat tampak, tampak pada hipoksia awal, aliran darah ke otak meningkat, sebagai bagian mekanisme kompensasi. Kondisi tu hanya dapat memberikan sebagaian penyesuaian dan dalam menghadapi hipoksia  yang berlanjut, tidak terjadi penyesuaian. Diantara banyak efek hipoksia yang berlanjut, tidak terjadi penyesuaian. Di antara banyak efek hipoksia pada sel-sel otak, beberapa efek hipoksia yang paling berat muncul akibat tidak ada zat penyedia energi, seperti ATP, berhentinya kerja pompa ion-ion transeluler, akumulasi air, natrium, dan kalsium dan kerusakan akibat radikal bebas oksigen.
Setelah resusitasi berhasil, bayi yang mengalami asfiksia harus di observasi dengan seksama untuk mengetahui adanya efek akibat iskemia dan asidosis metabolik serta untuk mengetahui stabilitas suhu, tekanan darah yang adekuat, glukosa darah dan efekrolit serum, serta haluran urine yang adekuat. Ultrasonografi, ETG, atau pemindahan CT otak bayi yang diresusitasi digunakan untuk menindaklanjuti bayi baru lahir yang mengalami asfiksia berat (Wahyuningsih, 2008).      

2.1.4   Diagnosis Asfiksia Neonatorum (Wiknjosastro, 2005)
Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia/hipoksia janin. Diagnosis anoksia/hipoksia jani dapat dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin.
Ada tiga hal yang perlu mendapatkan perhatian menentukan tanda-tanda gawat janin, yaitu :
1.      Denyut Jantung
Frekuensi normal ialah antara 120 dan 160 denyutan semenit, selama his frekuensi ini bisa turun, tetapi di luar his kembali lagi kepada semula. Peningkatan kecapatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi apabila frekuensi turun sampai dibawah 100 semenit di luar his, dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya.
2.      Mekonium Dalam Air Ketuban
Mekonium pada presentasi-sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada presentasi-kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus menimbulkan kewaspadaan. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi-kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan mudah.
3.      Pemeriksaan Ph Darah Janin
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa pH-nya, adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai dbhawa 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya oleh beberapa penulis. Selain itu kelahiran bayi yang telah menunjukkan tanda-tanda gawat janin mungkin disertai dengan asfiksia neonatorum, sehingga perlu diadakan persiapan untuk menghadapi keadaan tersebut. Nilai Apgar mempunyai hubungan erat dengan beratnya asfiksia dan biasanya dinilai satu menit dan lima menit setelah bayi lahir.

Setelah bayi lahir, asfiksia dapat ditandai dengan :
a.       Bayi tampak pucat dan kebiru-biruan serta tidak bernafas.
b.      Kalau sudah mengalami perdarahan di otak maka ada gejala neurologik seperti kejang, nistagmus, dan menangis kurang baik/tidak menangis

2.1.5   Penilaian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir
Aspek yang sangat penting dari resusitasi bayi baru lahir adalah menilai bayi, mementukan tindakan yang akan dilakukan dan akhirnya melaksanakan tindakan tadi. Penilaian selanjutnya merupakan dasar untuk menentukan kesimpulan dan tindakan berikutnya, upaya resusitasi yang efisien dan efektif berlangsung melalui rangkaian tindakan yaitu penilaian, pengambilan keputusan dan tindaklanjut. Penilaian untuk melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga tanda yang penting yaitu :
-          Pernafasan
-          Denyut jantung
-          Warna
Dalam melakukan penilaian pada bayi baru lahir yaitu dengan menggunakan tabel penilaian APGAR SKOR.
Gejala
0
1
2
Denyut jantung janin pernapasan refleks
Tonus
Warna kulit
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Lunglai
Biru/pucat
< 100
tidak teratur
Menyerangai
Lemas
Tubuh merah
Ektremitas biru
> 100
Tangis kuat
Batuk/bersin
Kuag gerak, aktif
Merah seluruh
tubuh
Dengan catatan penilaian di atas yaitu :
-          Normal apabila nilai APGAR Skor 7-10 dalam 1 menit pertama
-          Asfeksia sedang apabila nilai APGAR Skor 3-6 dalam 1 menit pertama
-          Asfeksia berat apabila nilai APGAR Skor 0-3 dalam 1 menit pertama
(Mansjoer, 2000)
2.1.6   Penatalaksanaan Asfiksia
Pada nenonatus dengan asfiksia, resusitasi diberikan secepat mungkin tanpa menunggu perhitungan ABC : A (Airway) : Bebas jalan napas bebas, jika perlu dengan intubasi endotrakeal; B (Breathing): Bangkitkan napas spontan dengan stimulasi taktil atau tekanan positif menggunakan Ambobag and mask atau lewat pipa endotrakeal; C (Circulation): Pertahankan sirkulasi jika perlu dengan kompresi dada dan obat-obatan.
Pada asfiksia ringan, diberikan bantuan napas dengan oksigen 100% melalui bag and mask selama 15-30 detik. Bila dalam waktu 30 detik denyut nadi masib di bawah 80x/menit, lakukam kompresi dada dengan dua jari pada 1/3 bawah sternum sebanyak 120x/menit.
Intubasi endrotrakeal harus dilakukan (oleh tenaga terlatih) pada bayi yang tidak memberi respons terhadap bentuan napas dengan bag and mask atau pada bayi dengan asfiksia berat.
Terapi medikamentosa diberikan bila denyut nadi masih di bawah 80x/menit setelah 30 detik kombinasi bantuan napas dan kompresi dada atau dalam keadaan asistol. Berikan adrenalin 1:10.000 dosisi 0,1-0,3 ml/kgBB intravena/intratrakeal, dapat diulang tidap 3-5 menit. Pada respons yang buruk terhadap resusitasi, hipovolemia, hipotensi, dan riwayat perdarahan berikan 10 ml/kgBB cairan infus (NaCl 0.9%, Ringer laktat, atau darah). Jika hasil pemeriksaan perlahan-lahan. Natrium bikarbonat diberikan hanya setelah terjadi ventilasi yang efektif karena dapat meningkatkan CO2 darah sehingga timbul asidosis rerpiratorik.
Asfiksia berat dapat mencetuskan syok kardiogenetik. Pada keadaan ini berikan dopamin atau dobutamin per infus 5-20 ug/kgBB/menit setelah sebelumnya diberikan volume expander. Andrenalin 0,1 ug/kgBB/menit dapat diberikan pada bayi yang tidak responsif terhadap dopamin atau dobutamin.
Bila terdapat riwayat pemberian analgesik narkotik pada ibu saat hamil, berikan Narcan (nalokson) 0,1 mg/kgBB subktan/intramuskular/ intravena/melalui pipa endotrakeal. (Mansjoer, 2000)

2.1.7   Manajemen Terapi Asfiksia Neonatorum
Tindakan untuk mengatasi asfiksia neonatorum disebut resusitasi bayi baru lahir yang bertujuan untuk mempertahankan kelangsung hidup bayi dan membatasi gejala sisa yang mungkin muncul. Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal ABC resusitasi :
A.    Memastikan saluran nafas terbuka
-          Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi : Bahu diganjal
-          Menghisap mulut kemudian hidung
-          Bila perlu masukan pipa endotrakeal (pipa ET) untuk memastikan saluran terbuka.
B.     Memulai pernafasan
-          Lakukan rangsangan taktil
-          Bila perlu lakukan ventilasi tekanan positif
C.     Mempertahankan sirkulasi darah
Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara :
-          Kompresi dada
-          Bila perlu menggunakan obat-obatan (Saifuddin, 2002)
2.1.8   Resusitasi Bayi Baru Lahir
Untuk mendapatkan hasil yang sempurna dalam resusitasi, prinsip dasar yang perlu diingat ialah : (1) menciptakan lingkungan yang baik bagi bayi dan mengusahakan tetap bebasnya jalan napas; (2) memberikan bantuan pernapasan secara aktif kepada bayi dengan usaha pernapasan buatan; (3) memperbaiki asidosis yang terjadi; (4) menjaga agar peredaran darah tetap baik.
Tindakan-tindakan yang dilakukan pada bayi dapat dibagi dalam 2 golongan :
1.      Tindakan Umum
Tindakan ini dikerjakan pada setiap bayi tanpa memandang nilai APGAR. Segera setelah bayi lahir, diusakan agar bayi mendapat pemanasan yang baik. Harus dicegah atau dikurangi kehilangan panas dari tubuhnya. Penggunaan sinar lampu untuk pemanasan luar dan untuk mengeringkan tubuh bayi mengurangi evaporasi.
Bayi diletakkan dengan kepala lebih rendah dan penghisapan saluran pernapasan bagian atas segera dilakukan. Hal ini harus dikerjakan dengan hati-hati untuk menghindarkan timbulnya kerusakan-kerusakan mukosa jalan napas, spasmus laring, atau kolaps paru-paru. Bila bayi belum memperlihatkan usaha bernafas, rangsangan terhadapnya harus segera dikerjakan. Hal ini dapat berupa rangsangan nyeri dengan cara memukul kedua telapak kaki, menekan tendon Achilles, atau pada bayi-bayi tertentu diberi suntikan vitamin K.


2.       Tindakan Khusus
Tindakan ini dikerjalan setelah tindakan umum diselenggarakan tanpa hasil. Prosedur yang dilakukan disesuaikan dengan beratnya asfiksia yang timbul pada bayi, yang dinyatakan oleh tinggi-rendahnya nilai APGAR. (Wiknjosastro, 2005)

2.2    Faktor Penyebab Neonatorum Menurut Para Ahli
2.2.1   Menurut Wiknjosastro
Wiknjosastro (2005), menyatakan bahwa faktor-faktor yang timbul dalam persalinan bersifat lebih mendadak dan hampir selalu mengakibatkan anoksia atau hipoksia janin dan berakhir dengan asfiksia bayi. Faktor-faktor yang mendadak terdiri atas :
1.      Faktor-faktor dari pihak janin
a.       Gangguan aliran darah dalam tali pusat karena tekanan tali pusat.
b.      Depresi pernapasan karena obat-obat anestesia/analgetika yang diberikan kepada ibu, perdarahan intrakonial, dan kelainan bawaan (hernia diafragmatika, atresia saluran pernapasan, hipoplasia paru-paru, dan lain-lain).
2.      Faktor dari pihak ibu
a.       Gangguan his, misalnya hipertani dan tetani.
b.      Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan, misalnya pada plasenta previa.
c.       Hipertensi dada eklampsia.
d.      Gangguan mendadak pada plasenta seperti solusion plasenta.
2.2.2   Menurut JNPK-KR
JNPK-KR (2008), beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir, diantaranya adalah faktor ibu, tali pusat dan bayi berikut ini :
1.       Faktor Ibu
a.       Preeklampsia dan eklampsia
b.      Perdarahan abnormal (plasenta previa/solusio plasenta)
c.       Partus lama atau partus macet
d.      Demam selama persalinan
e.       Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
f.       Kehamilan lewat waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
g.      Penyakit ibu
2.       Faktor tali pusat
a.       Lilitan tali pusat
b.      Tali pusat pendek
c.       Simpul tali pusat
d.      Prolapsus tali pusat
3.       Faktor  bayi
a.       Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
b.      Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep).
c.       Kelainan bawaan (kongenital)
d.      Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)
2.2.3   Gejala dan Tanda-tanda Asfiksia
1.      Tidak bernapas atau bernapas megap-megap
2.      Warna kulit kebiruan
3.      Kejang
4.      Penurunan kesadaran (JNPK-KR, 2008)

2.3    Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Asfiksia Neonatorum
2.3.1   Faktor-faktor yang diteliti
1.      Umur ibu
Umur ibu pada waktu hamil sangat berpengaruh pada kesiapan ibu untuk menerima tanggung jawab sebagai seorang ibu sehingga kualitas sumber daya manusia makin meningkat dan kesiapan untuk menyehatkan generasi penerus dapat terjamin. Kehamilan di usia mudah/remaja (dibawah usia 20 tahun) akan mengakibatkan rasa takut terhadap kehamilan dan persalinan, hal ini dikarenakan pada usia tersebut ibu mungkin belum siap untuk mempunyai anak dan alat-alat reproduksi ibu belum siap untuk hamil. begitu juga kehamilan di usia tua (di atas 35 tahun) akan menimbulkan kecemasan terhadap kehamilan dan persalinannya serta alat reproduksi ibu terlalu tua untuk hamil (Prawirohardjo, 2004).
Beberapa penelitian menyatakan semakin matang usia ibu dihadapkan pda kemungkinan terjadinya beberapa resiko tertentu, trmasuk resiko kehamilan, yang dapat berakibat buruk pada janin.
Pada peneliti menyatakan wanita di atas 35 tahun dua kali lebih rawan dibandingkan wanita berusia 20 tahun untuk menderita tekanan darah tinggi, yang merupakan salah satu faktor predisposisi dari ibu yang dapat menyebabkan asfiksia neonatorum wanita yang hamil pada usia di atas 40 tahun memiliki kemungkinan sebanyak 60% menderita tekanan darah tinggi dibandingkan wanita yang berusia 20 tahun pada penelitian di University Of California pada tahun 1999. (hakimi, 2003)

2.      Partus Lama
Partus lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 1-2 jam pada primi, dan lebih dari 1 jam pada multi (Wiknjosastro, 2005)
Partus lama masih merupakan suatu masalah di Indonesia, karena seperti kita ketahui, bahwa 80% daripersalinan masih ditolong oleh dukun. Dan baru sedikit sekali dari dukun beranak ini yang telah ditatar sekedar mendapat kursus dukun.
Persalinan pada primi lebih lama 5-6 jam dari pada multi. Bila persalinan berlangsung lama, dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi baik terhadap ibu maupun terhadap anak, dan dapat meningkatkan angka kematian ibu dan anak. Menurut Harjono partus lama merupakan fase terakhir dari suatu partus yang macet dan berlangsung terlalu lama sehingga timbul gejala-gejala seperti dehidrasi, infeksi, kelelahan ibu, serta asfiksi dan kematian janin dalam kandungan (KJDK), dan insiden partus lama menurut penelitian adalah 2,8 – 4,9%. (Mochtar, 1998)

3.      Umur Kehamilan
a.      Umur kehamilan adalah lama kehamilan yang dihitung mulai dari Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT sampai dengan pada saat dirawat di rumah sakit).
b.      Kehamilan adalah pertumbuhan dan perkembangan janin intra uterin mulai sejak kontrasepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan (Saifuddin, 2002).
Umur kehamilan mulai dari ovulasi sampai partus adalah kira-kira 280 hari (40 Minggu), dan tidak lebih dari 300 hari (43 Minggu). Kehamilan 40 minggu ini disebut kehamilan matur (cukup bulan). Bila kehamilan lebih dari 43 Minggu disebut kehamilan postmatur. Kehamilan antara 28 dan 36 Minggu disebut kehamilan prematur. Kehamilan yang terakhir ini akan mempengaruhi viabilitas (kelangsungan hidup) bayi yang dilahirkan, karena bayi yang terlalu muda mempunyai progenesis buruk.
Ditinjau dari tuanya kehamilan, kehamilan dibagi 3 bagian. Masing-masing kehamilan triwulan pertama (antara 0-12 minggu), kehamilan triwulan ke dua (antara 12-28 Minggu), dan ketiga kehamilan triwulan terakhir (antara 28 sampai 40 minggu). (Winjosastro, 2005)

2.3.2   Faktor-faktor yang tidak diteliti
1.      Persalinan Preterm
Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan 37 minggu atau kurang, merupakan hal yang berbahaya karena mempunyai dampak yang potensial meningkatkan kematian perinatal. Kematian perinatal umumnya bekaitan dengan berat lahir rendah. Berat lahir rendah dapat disebabkan oleh bayi preterm dan pertumbuhan janin yang terlambat (Wiknjosastro, 2005).
Kehamilan Praterm adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan kurang dari 37 minggu (antara 20-37 minggu) atau dengan berat janin kurang dari                    2500 gram.
Kesulitan utama dalam persalinan praterm adalah perawatan bayinya, semakin muda usia kehamilannya semakin besar morbilitas dan mortabilitasnya. Karena disamping harapan hidup perlu dipikirkan pula kualitas hidup bayi tersebut. (Prawirohardjo, 2002).

2.      Plasenta Previa
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dari menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum. Angka kejadian plasenta previa adalah 0,4-0,6% dari keseluruhan persalinan. Dengan penatalaksanaan dan perawatan yang baik, mortalitas perinatal adalah 50 per 1000 kelahiran hidup (Saifuddin, 2002).  
Jika plasenta terdapat di depan, telurusri plasenta dan lahirkan bayi dengan meluksir kepala atau dengan ekstraksi kaki. Sesudah bayi lahir, jika plasenta tidak dapat dilepaskan secara manual, diagnosis adalah plasenta akreta. Sering didapatkan pada lokasi bekas seksio sesarea. Lakukan histerektomi.
Kasus dengan plasenta previa berisiko tinggi untuk pendarahan postpartum, jika ada pendarahan pada bekas implementasi, lakukan jahitan jelujur atau angka 8 dengan catgut gromik atau poligrikolik. (Prawirohardjo, 2002).
Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal yaitu pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir pada keadaan normal plasenta terletak di bagian atas uterus. (Wiknjosastro, 2005).

3.      Solusio Plasenta
Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada uterus, sebelum janin dilahirkan. Definisi ini berlaku pada kehamilan dengan masa gestasi di atas 22 minggu atau berat janin di atas 500 gram. Proses solusio plasenta dimulai dengan terjadinya dalam desiuda basalis yang menyebabkan hematoma retroplasenter (Saifuddin, 2002).  
Solusio plasenta adalah lepasnya plasenta dari tempat melekatnya yang normal pada uterus sebelum janin dilahirkan. (Prawirohardjo, 2002).
Solusio plasenta adalah pelepasan plasenta sebelum waktunya plasenta itu secara normal terlepas setelah anak lahir.
Akan tetapi pelepasan plasenta sebelum minggu ke 22 disebut abortus dan kalau terjadi pelepasan plasenta pada plasenta yang rendah implantasinya maka bukan disebut solusio plasenta, tetapi plasenta previa pada solusio plasenta darah dari tempat pelepasan, mencari jalan keluar antara selput janin dan dinding rahim dan akhirnya keluar dari serviks, terjadilah perdarahan keluar atau pendarahan nampak. (FKUP, 2001). 
Share:

Popular Posts

Jumlah Pengunjung

Cari judul yang anda butuhkan disni

Blog Archive

© Al Anshor 2017 All Reserved. Powered by Blogger.

Labels

Blog Archive